Rabu, 03 Agustus 2011
Selasa, 02 Agustus 2011
Merasakan Keagungan Allah
oleh : semmercy
Adz-Dzahabi adlam kitabnyaSairu A'laamin Nubaha' menyebutkan biografi Sufyan ibnu Sa'id Ats-Tsauri,seorang imam yang alim, ahli zuhud,dan ahli ibadah, bahwa suatu malam dia mengerjakan qiyamul lailnya, dalam bacaannya dia mengulang-ulang surah at-Takatsur, hingga pagih hari.
Ibnu Jauzy mengatakan bahwa ia telah membaca semua riwayat hidup ulama salaf, ternyata tidak menjumpai sesudah para sahabat, kecuali tiga orang yang telah matang ilmu dan amalnya, yaitu Sa'id ibnul Musayyab, Ahmad ibnu Hambal, dan Sufyan ats-Tsauri.
Ketika Sufayan ats-Tsauri kedatangan tanda-tanda kematiannya,ia menangis dengan tansian yang besar, sehingga para ulama datang menjenguknya, lalu mereka menghiburnya dan menenangkannya. Akhirnya mereka menilai baik sangkanya kepada Allah Ta'ala.
Dalam kitab Dzailu Thobaqoot Hanabilah karya tulis Ibnu Rajab disebutkan riwayat hidup Abdul Ghani al Maqdis, seorang imam pentolan yant tunduk patuh kepada Allah lagi bukan termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, penulis kitab Al Kamal fii Asma ir Rijaal tentang ilmu hadist yang belum pernah ada tulisan yang semisal dengannya.
Ibnu Rajab menceritakan bahwa Abdul Ghani ketika dipenjara dimasukkan ke dalam sel bersama dengan sejumlah orang-orang Yahudi. Setiap malam hari Abdul Ghani bangun melakukan shalat sunnah malam hari. Setipa kali shalat dua raka'at, ia mengerjakannya dengan menangis hingga tangisannya mengalahkan suaranya.
Selanjutnya, ia berwudhu' dan shalat dua rakaat lagi dengan menangis, demikianlah seterusnya hingga pagi hari. Setelah orang-orang Yahudi yang bersamanya dalam penjara melihat sikapnya itu, maka pada pagi harinya mereka semua masuk Islam. Mereka masuk Islam karena ketakutan melihar orang alim yang ahli ibadah ini dan tangisannya yang besar serta bacaannya yang begitu hangat.
Para penghuni penjara lainnya bertanya kepada mereka, "Mengapa kalian masuk Islam?", tukasnya.
Seseorang diantara orang-orang Yahudi itu menjawab : "Demi Allah, sesungguhnya aku telah melalui suatu malam yang belum pernah kualami sepanjang hidupku. Demi Allah, dia telah menggambarkan kepada kami keadaan hari Kiamat".
Akhirnya, mereka dikeluarkan dari dalam penjara, sedang mereka telah menjadi muslim dan mengakui bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad Saw adalah utusan Allah.
Inilah dakwah yang tulus, dakwah yang dilakukan oleh tangisan, dakwah Tahajjud, dakwah salat sunnah di tengah malam, dakwah yan dilakukan oleh ibadah yang seseorang tidak perlu banyak bicara didalamnya dan tidak pula banyak berkhutbah, melainkan hanya dilihat semata, tahu mereka beroleh petunjuk dan mau mengikuti.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ibnu Taimiyah manakala keluar menuju pasar pada pagi hari setelah mentari naiksepenggalahan, dan orang-orang melihat penampilannya yang bercahaya lagi berwibawa karena pengaruh dari dzikir dan ibadah yang dilakukannya, mereka spontan mengulang-ngulang sebutan laa ilaaha ilalloh.
Inilah sosok yang bila dilihat akan mengingatkan kepada Alalh Rabbul alamin, karena memang di antara orang-orang shalih, para wali, para ulama, para ahli ibadah, dan para da'i serta para penuntut ilmu, ada sebagian orang yang bila anda lihat hanya dari penampilan wajahnya semata, ia akan mengingatkan anda kepada Allah dan kebesaran-Nya. Meskipun dia berbicara sepatah kata pun kepada anda atau mengatakan suatu nasihat atau khutbah pun kepada anda. Demikianlah karena anda telah melihat pertanda kebaikan yang terpancarkan dari wajahnya, sehingga anda terkesima olehnya.
"Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud." (QS Al-Fath :29).
Demikian juga karena pengaruh dari bekas munajatnya kepada allah pada malam hari.
Adz-Dzahabi dalam bukunya yang berjudul Sairu A'laamin Nubalaa' menyebutkan riwayat hidup Ibnu Wahb, seorang ahli zuhud besar, orang 'alim madzhab Maliki. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa Ibnu Wahb telah menulis Kitab Ahwaalul Qiyaamah (kengerian pada hari kiamat) untuk dirinya sendiri. Orang-orang pun memintanya agar membacakan kitab itu kepada mereka di dalam masjid.
Ibnu Wahb keluar dan mengumpulkan semua orang. Setelah itu ia berkata kepada anaknya: "Bacakanlah kepadaku kengerian pada hari kiamat!" Saat anaknya membaca baru sedikit saja dari bagian kitab itu. Ibnu Wahb jatuh pingsan tak sadarkan diri. selanjutnya, dicipratkanlah air ke wajahnya, tetapi ia masih belum sadar dan dicipratkan air lagi ke wajahnya, tetapi tidak juga sadar. selama tiga hari Ibnu Wahb dalam keadaan koma tak sadarkan diri dan pada hari keempatnya beliau berpulang ke rahmatullah alias wafat.
Ibnu Taimiyah dalam Ushulul Fiqh bagian dari kitab Fatawanya mengatakan tentangnya:" Adapun sehubungan dengan Ibnu Wahb, maka beliau adalah sesuatu yang lain, yakni termasuk sampel yang baik dalam hal kebenaran, ibadah, dan berhubungan dengan Allah.
Seandainya bukan karena Allah, kemudian karena Rasul-Nya, Muhammad, tentulah Allah tidak akan mengeluarkan sampsel-sampel manusia ini dan tidak pula para ulama dan para da'i yang menyeru manusia kepada Allah.
"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia."
(QS Ali 'Imran: 110)
untuk memberi contoh kepada mereka dalam hal berdakwah, berqurban, berhubungan dengan Allah, berzuhud terhadap duniawi, menebarkan keutamaan di antara manusia, menghindarkan diri dari hal-hal yang kotor, dan menjadi teladan dalam hal bertaqwa kepada Allah.
Kita bukan sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia guna bermegah-megahan, saling membanggakan diri, bersikap angkuh, dan tidak pula untuk menimbulkan kerusakan di muka bumi. Wallahu'alam.
Adz-Dzahabi adlam kitabnyaSairu A'laamin Nubaha' menyebutkan biografi Sufyan ibnu Sa'id Ats-Tsauri,seorang imam yang alim, ahli zuhud,dan ahli ibadah, bahwa suatu malam dia mengerjakan qiyamul lailnya, dalam bacaannya dia mengulang-ulang surah at-Takatsur, hingga pagih hari.
Ibnu Jauzy mengatakan bahwa ia telah membaca semua riwayat hidup ulama salaf, ternyata tidak menjumpai sesudah para sahabat, kecuali tiga orang yang telah matang ilmu dan amalnya, yaitu Sa'id ibnul Musayyab, Ahmad ibnu Hambal, dan Sufyan ats-Tsauri.
Ketika Sufayan ats-Tsauri kedatangan tanda-tanda kematiannya,ia menangis dengan tansian yang besar, sehingga para ulama datang menjenguknya, lalu mereka menghiburnya dan menenangkannya. Akhirnya mereka menilai baik sangkanya kepada Allah Ta'ala.
Dalam kitab Dzailu Thobaqoot Hanabilah karya tulis Ibnu Rajab disebutkan riwayat hidup Abdul Ghani al Maqdis, seorang imam pentolan yant tunduk patuh kepada Allah lagi bukan termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, penulis kitab Al Kamal fii Asma ir Rijaal tentang ilmu hadist yang belum pernah ada tulisan yang semisal dengannya.
Ibnu Rajab menceritakan bahwa Abdul Ghani ketika dipenjara dimasukkan ke dalam sel bersama dengan sejumlah orang-orang Yahudi. Setiap malam hari Abdul Ghani bangun melakukan shalat sunnah malam hari. Setipa kali shalat dua raka'at, ia mengerjakannya dengan menangis hingga tangisannya mengalahkan suaranya.
Selanjutnya, ia berwudhu' dan shalat dua rakaat lagi dengan menangis, demikianlah seterusnya hingga pagi hari. Setelah orang-orang Yahudi yang bersamanya dalam penjara melihat sikapnya itu, maka pada pagi harinya mereka semua masuk Islam. Mereka masuk Islam karena ketakutan melihar orang alim yang ahli ibadah ini dan tangisannya yang besar serta bacaannya yang begitu hangat.
Para penghuni penjara lainnya bertanya kepada mereka, "Mengapa kalian masuk Islam?", tukasnya.
Seseorang diantara orang-orang Yahudi itu menjawab : "Demi Allah, sesungguhnya aku telah melalui suatu malam yang belum pernah kualami sepanjang hidupku. Demi Allah, dia telah menggambarkan kepada kami keadaan hari Kiamat".
Akhirnya, mereka dikeluarkan dari dalam penjara, sedang mereka telah menjadi muslim dan mengakui bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad Saw adalah utusan Allah.
Inilah dakwah yang tulus, dakwah yang dilakukan oleh tangisan, dakwah Tahajjud, dakwah salat sunnah di tengah malam, dakwah yan dilakukan oleh ibadah yang seseorang tidak perlu banyak bicara didalamnya dan tidak pula banyak berkhutbah, melainkan hanya dilihat semata, tahu mereka beroleh petunjuk dan mau mengikuti.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ibnu Taimiyah manakala keluar menuju pasar pada pagi hari setelah mentari naiksepenggalahan, dan orang-orang melihat penampilannya yang bercahaya lagi berwibawa karena pengaruh dari dzikir dan ibadah yang dilakukannya, mereka spontan mengulang-ngulang sebutan laa ilaaha ilalloh.
Inilah sosok yang bila dilihat akan mengingatkan kepada Alalh Rabbul alamin, karena memang di antara orang-orang shalih, para wali, para ulama, para ahli ibadah, dan para da'i serta para penuntut ilmu, ada sebagian orang yang bila anda lihat hanya dari penampilan wajahnya semata, ia akan mengingatkan anda kepada Allah dan kebesaran-Nya. Meskipun dia berbicara sepatah kata pun kepada anda atau mengatakan suatu nasihat atau khutbah pun kepada anda. Demikianlah karena anda telah melihat pertanda kebaikan yang terpancarkan dari wajahnya, sehingga anda terkesima olehnya.
"Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud." (QS Al-Fath :29).
Demikian juga karena pengaruh dari bekas munajatnya kepada allah pada malam hari.
Adz-Dzahabi dalam bukunya yang berjudul Sairu A'laamin Nubalaa' menyebutkan riwayat hidup Ibnu Wahb, seorang ahli zuhud besar, orang 'alim madzhab Maliki. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa Ibnu Wahb telah menulis Kitab Ahwaalul Qiyaamah (kengerian pada hari kiamat) untuk dirinya sendiri. Orang-orang pun memintanya agar membacakan kitab itu kepada mereka di dalam masjid.
Ibnu Wahb keluar dan mengumpulkan semua orang. Setelah itu ia berkata kepada anaknya: "Bacakanlah kepadaku kengerian pada hari kiamat!" Saat anaknya membaca baru sedikit saja dari bagian kitab itu. Ibnu Wahb jatuh pingsan tak sadarkan diri. selanjutnya, dicipratkanlah air ke wajahnya, tetapi ia masih belum sadar dan dicipratkan air lagi ke wajahnya, tetapi tidak juga sadar. selama tiga hari Ibnu Wahb dalam keadaan koma tak sadarkan diri dan pada hari keempatnya beliau berpulang ke rahmatullah alias wafat.
Ibnu Taimiyah dalam Ushulul Fiqh bagian dari kitab Fatawanya mengatakan tentangnya:" Adapun sehubungan dengan Ibnu Wahb, maka beliau adalah sesuatu yang lain, yakni termasuk sampel yang baik dalam hal kebenaran, ibadah, dan berhubungan dengan Allah.
Seandainya bukan karena Allah, kemudian karena Rasul-Nya, Muhammad, tentulah Allah tidak akan mengeluarkan sampsel-sampel manusia ini dan tidak pula para ulama dan para da'i yang menyeru manusia kepada Allah.
"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia."
(QS Ali 'Imran: 110)
untuk memberi contoh kepada mereka dalam hal berdakwah, berqurban, berhubungan dengan Allah, berzuhud terhadap duniawi, menebarkan keutamaan di antara manusia, menghindarkan diri dari hal-hal yang kotor, dan menjadi teladan dalam hal bertaqwa kepada Allah.
Kita bukan sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia guna bermegah-megahan, saling membanggakan diri, bersikap angkuh, dan tidak pula untuk menimbulkan kerusakan di muka bumi. Wallahu'alam.
Bulan Ramadhan, Bulan Muhasabah dan Kemerdekaan Hakiki
oleh : semmercy
Alhamdulillah, bulan Ramadhan 1432 H sebentar lagi akan kita masuki, insya Allah akan bersamaan dengan awal bulan Agustus 2011 dimana bulan agustus ini pula terdapat tanggal yang setiap tahun selalu dirayakan oleh negara ini yakni setiap tanggal 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Pertanyaannya, benarkah negeri ini sudah merdeka? Ataukah masih terjajah?
Secara hitam diatas putih, sejak 17 Agustus 1945 memang telah diproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia oleh Dwi Tunggal Soekarno-Hatta. Sejak saat itu bangsa Indonesia bebas untuk menentukan nasibnya sendiri, tidak lagi di bawah penjajahan asing.
Namun faktanya, negara ini secara realitas kehidupan tidaklah merdeka. Negara ini berada di bawah penjajahan non fisik, yakni penjajahan secara pemikiran. Dan pemikiran dari penjajahan tersebut yang kemudian melahirkan berbagai macam bentuk kebijakan yang menghasilkan penderitaan secara fisik maupun mental hingga sekarang ini.
Secara ekonomi, konsep pemikiran sistem ekonomi kapitalisme yang diajarkan oleh barat telah merasuki para penguasa di negeri ini. Utang luar negeri semakin menumpuk sampai sekarang, dan menjadi tanggungan hingga beberapa generasi kedepan.
Secara politik, konsep pemikiran politik demokrasi-sekuler buah dari sistem kapitalisme pun juga semakin kokoh di negera ini.
Secara hukum, negara ini pun masih mengadopsi konsep pemikiran hukum sisa kolonial Belanda. Bukan kah Belanda adalah yang menjajah negara ini? Jika telah merdeka, kenapa tidak bisa lepas dari praktek hukum negara kolonial belanda?
Secara budaya, negara ini pun juga mengadopsi kebudayaan barat. Free seks adalah hal yang lumrah dikalangan pemuda. Bahkan ada orang tua yang malu jika anaknya tidak punya pacar. Padahal pacaran bukanlah kebudayaan Islam, melainkan kebudayaan dari hadharah barat.
Secara sosial, masyarakat mengalami keterpurukan di berbagai sektor. Pembunuhan, penganiyaan, dan kriminalitas menjadi menu harian rakyat Indonesia. Bukan hanya tidak aman dari sesama, rakyat juga tidak aman dari penguasa mereka. Hubungan rakyat dan penguasa bagaikan hubungan antarmusuh. Tanah rakyat digusur atas nama pembangunan. Pedagang kaki lima digusur di sana-sini dengan alasan penertiban. Pengusaha tidak aman dengan banyaknya kutipan liar dan kewajiban suap di sana-sini. Para aktifis Islam juga tidak aman menyerukan kebenaran Islam; mereka bisa diculik kapan saja dan dituduh sebagai teroris. Bahkan umat Islam yang baru di duga sebagai teroris pun langsung di ”dor” oleh densus 88 yang mana merupakan didikan dari negara kafir barat Australia.
Jadi pertanyaannya, dengan realitas di atas, apakah layak negara ini sudah merdeka? Jawabannya jelas tidak. Negara ini belumlah benar-benar lepas dari cengkraman penjajahan. Negara ini mengalami kerterpurukan di semua bidang.
Kemerdekaan Hakiki Dengan Syari’ah Islam
Kemerdekaan hakiki adalah kemerdekaan yang membebaskan semua bangsa dan individu dari segala bentuk penjajahan, plus dari segala bentuk penghambaan kepada sesuatu yang memang tidak layak untuk di sembah. Dan itu hanya bisa diraih dengan cara kembali kepada sifat fitrah manusia, yakni merasa lemah, terbatas dan kurang.
Secara bahasa, fithrah berarti al-khilqah (naluri, pembawaan) dan ath-thabî‘ah (tabiat, karakter) yang diciptakan Allah Swt. pada manusia. (Jamaluddin al-Jauzi, Zâd al-Masîr, VI/151; az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, III/463).
Di antara naluri/pembawaan manusia yang asli adalah adanya naluri beragama (gharîzah at-tadayyun) pada dirinya. Dengan naluri ini, setiap manusia pasti merasakan dirinya serba lemah, serba kurang dan serba tidak berdaya sehingga ia membutuhkan Zat Yang Mahaagung, yang berhak untuk disembah dan dimintai pertolongan. Dialah Allah swt, dzat yang mencipatkan alam semesta, manusia dan kehidupan. Tidak ada yang lebih tinggi dan layak disembah melaikan hanya Dia.
Oleh karena itu esensi dari kembali kepada fitrah manusia berarti adalah kembalinya manusia ke jatidirinya yang asli sebagai seorang hamba di hadapan Allah sebagai Tuhannya. Menurut Imam Ja’far ash-Shadiq, seorang Muslim yang mengklaim sebagai hamba Allah mesti menyadari bahwa: (1) apa yang ada pada dirinya bukanlah miliknya, tetapi milik Allah; (2) tunduk, patuh dan tidak pernah membantah setiap perintah Allah; (3) tidak membuat aturan sendiri kecuali aturan yang telah Allah tetapkan untuk dirinya.
Dengan sifat fitrah tersebut, manusia tidak akan merasa memiliki sifat powerfull dibanding yang lain. Tidak akan membuat kerusakan dengan kekuatan yang dia miliki. Dan syariah Islam adalah sesuatu yang sesuai dengan fitrah manusia tersebut, baik dia muslim ataupun non muslim.
Karena Islam adalah agama yang sempurna, Islam diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat jibril as untuk mengatur hubungan manusia dengan penciptanya, dengan sesamanya (baik muslim maupun non muslim), dan dengan dirinya sendiri.
Dengan kembali kepada jati diri sebagai seorang muslim, yang tunduk dan patuh akan hukum-hukum Allah, maka sejatinya dia akan menjauhkan dir dari segala bentuk sekulerisme, kenapa? Karena Sebab, sekularisme justru menjauhkan diri manusia dari kedudukannya sebagai seorang hamba Allah. Bahkan sekularisme menempatkan manusia sejajar dengan Tuhan, sebagaimaan sekulerisme juga merupakan ibu dari demokrasi, dimana dalam demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat/penguasa. Padahal di dalam Islam, kedaulatan hanyalah ada pada Allah swt sebagai musyari’ (pembuat hukum), bukan manusia sebagaimana yang ada pada sistem demokrasi-sekuler.
Negara Tanpa Aturan Allah Adalah Negara Maksiat
Membuat hukum itu adalah hak Allah, bukan hak manusia.
Sebuah negara, dimana negara tersebut tidak menerapkan aturan-aturan Allah maka sejatinya negara itu telah melakukan sebuah kemaksiatan. Karena segala bentuk pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah (tidak menerapkan hukum Allah) adalah sebuah kemaksiatan kepada Allah. Setiap kemaksiatan pasti menimbulkan dosa, dan setiap dosa pasti menyebabakan fasad atau kerusakan. Itulah kenapa sampai sekarang sejak 17 Agustus 1945 berbagai macam bentuk bencana dan musibah yang berupa fasad selalu menimpa negeri ini.
fakta telah membuktikan bahwa peratuan–peraturan yang dibuat manusia—karena lebih didasarkan pada kecenderungan dan hawa nafsunya—telah melahirkan banyak ekses negatif, kerusakan dan kekacauan. Itulah yang terjadi saat ini ketika hak membuat aturan/hukum diberikan kepada manusia (rakyat) melalui mekanisme demokrasi. Mahabenar Allah yang berfirman:
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?! (TQS al-Maidah [5]: 50).
Lebih jauh, syariat Islam tidak pernah secara sengaja digunakan. Islam hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Sebagai gantinya, di tengah-tengah sistem sekularistik itu lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama: tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik, serta sistem pendidikan yang materialistik.
Bulan Ramadhan 1432 H, bermuhasabah lah!
Sejak 17 Agustus 1945, berarti sudah 66 tahun negara ini merdeka. Namun setelah uraian diatas, apakah negara ini sudah layak dikatakan merdeka? Jelas tidak.
Sudah saatnya pemimpin negeri ini melakukan muhasabah. Cukup sudah kiranya setengah abad lebih negeri ini mengalami keterpurukan. Cukup sudah beberapa kali ganti rezim tanpa dibarengi ganti sistem dilakukan di negeri ini.
Bulan Ramadhan tahun ini yang bertepataan dengan bulan kemerdekaan bangsa ini, seharusnya menjadi muhasabah tersendiri. Khususnya kepada para penguasa negeri ini. Bukankah mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim. Apakah mereka lupa atau tidak tahu bagaimana ramadhan merupakansebuah bulan jihad untuk meraih kemenangan secara hakiki?
Lihat dan renungkanlah bagaimana dulu Rasululah saw dan para sahabat beraktivitas di bulan Ramadhan.
Pertama: para Sahabat tidak hanya melakukan tadarus al-Quran (baik di bulan Ramadhan maupun di luar itu), tetapi juga mengamalkannya. Sebab, para Sahabat memahami bahwa membaca al-Quran adalah sunnah, sementara menjadikan al-Quran sebagai pedoman hidup mereka adalah wajib. Mereka sangat menyadari bahwa al-Quran harus menjadi dasar konstitusi kaum Muslim.
Kedua: para Sahabat tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari segala hal yang diharamkan oleh Allah; tidak berdusta, tidak berbuat batil, tidak membuat kerusakan dan tentu saja tidak berhukum pada selain hukum Allah Swt. Mereka tidak seperti kaum Muslim saat ini, yang justru masih berhukum pada perundang-undangan dan sistem kufur yang bersumber dari sekularisme.
Ketiga: para Sahabat telah nyata-nyata menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan tobat. Tobat mereka adalah tawbah nasûhâ, tobat yang sebenar-benarnya. Seharusnya saat ini pun kaum Muslim, yang telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan tobat, tidak lagi melakukan maksiat meski Ramadhan telah berlalu. Maksiat terbesar yang harus segera ditinggalkan kaum Muslim saat ini adalah ketika mereka tidak menerapkan hukum-hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan akibat ketiadaan Daulah Khilafah Islam di tengah-tengah mereka. Ketiadaan Daulah Khilafah juga berarti umat ini tidak memiliki pelindung dari musuh-musuh Allah.
Semoga Bulan Ramadhan tahun ini adalah bulan Ramadhan terakhir bangsa Indonesia hidup tanpa syariah Islam, dan untuk seluruh manusia di muka bumi pada umumnya. Amin Allahuma amin. Wallahu A’lam bis showab
Alhamdulillah, bulan Ramadhan 1432 H sebentar lagi akan kita masuki, insya Allah akan bersamaan dengan awal bulan Agustus 2011 dimana bulan agustus ini pula terdapat tanggal yang setiap tahun selalu dirayakan oleh negara ini yakni setiap tanggal 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Pertanyaannya, benarkah negeri ini sudah merdeka? Ataukah masih terjajah?
Secara hitam diatas putih, sejak 17 Agustus 1945 memang telah diproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia oleh Dwi Tunggal Soekarno-Hatta. Sejak saat itu bangsa Indonesia bebas untuk menentukan nasibnya sendiri, tidak lagi di bawah penjajahan asing.
Namun faktanya, negara ini secara realitas kehidupan tidaklah merdeka. Negara ini berada di bawah penjajahan non fisik, yakni penjajahan secara pemikiran. Dan pemikiran dari penjajahan tersebut yang kemudian melahirkan berbagai macam bentuk kebijakan yang menghasilkan penderitaan secara fisik maupun mental hingga sekarang ini.
Secara ekonomi, konsep pemikiran sistem ekonomi kapitalisme yang diajarkan oleh barat telah merasuki para penguasa di negeri ini. Utang luar negeri semakin menumpuk sampai sekarang, dan menjadi tanggungan hingga beberapa generasi kedepan.
Secara politik, konsep pemikiran politik demokrasi-sekuler buah dari sistem kapitalisme pun juga semakin kokoh di negera ini.
Secara hukum, negara ini pun masih mengadopsi konsep pemikiran hukum sisa kolonial Belanda. Bukan kah Belanda adalah yang menjajah negara ini? Jika telah merdeka, kenapa tidak bisa lepas dari praktek hukum negara kolonial belanda?
Secara budaya, negara ini pun juga mengadopsi kebudayaan barat. Free seks adalah hal yang lumrah dikalangan pemuda. Bahkan ada orang tua yang malu jika anaknya tidak punya pacar. Padahal pacaran bukanlah kebudayaan Islam, melainkan kebudayaan dari hadharah barat.
Secara sosial, masyarakat mengalami keterpurukan di berbagai sektor. Pembunuhan, penganiyaan, dan kriminalitas menjadi menu harian rakyat Indonesia. Bukan hanya tidak aman dari sesama, rakyat juga tidak aman dari penguasa mereka. Hubungan rakyat dan penguasa bagaikan hubungan antarmusuh. Tanah rakyat digusur atas nama pembangunan. Pedagang kaki lima digusur di sana-sini dengan alasan penertiban. Pengusaha tidak aman dengan banyaknya kutipan liar dan kewajiban suap di sana-sini. Para aktifis Islam juga tidak aman menyerukan kebenaran Islam; mereka bisa diculik kapan saja dan dituduh sebagai teroris. Bahkan umat Islam yang baru di duga sebagai teroris pun langsung di ”dor” oleh densus 88 yang mana merupakan didikan dari negara kafir barat Australia.
Jadi pertanyaannya, dengan realitas di atas, apakah layak negara ini sudah merdeka? Jawabannya jelas tidak. Negara ini belumlah benar-benar lepas dari cengkraman penjajahan. Negara ini mengalami kerterpurukan di semua bidang.
Kemerdekaan Hakiki Dengan Syari’ah Islam
Kemerdekaan hakiki adalah kemerdekaan yang membebaskan semua bangsa dan individu dari segala bentuk penjajahan, plus dari segala bentuk penghambaan kepada sesuatu yang memang tidak layak untuk di sembah. Dan itu hanya bisa diraih dengan cara kembali kepada sifat fitrah manusia, yakni merasa lemah, terbatas dan kurang.
Secara bahasa, fithrah berarti al-khilqah (naluri, pembawaan) dan ath-thabî‘ah (tabiat, karakter) yang diciptakan Allah Swt. pada manusia. (Jamaluddin al-Jauzi, Zâd al-Masîr, VI/151; az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, III/463).
Di antara naluri/pembawaan manusia yang asli adalah adanya naluri beragama (gharîzah at-tadayyun) pada dirinya. Dengan naluri ini, setiap manusia pasti merasakan dirinya serba lemah, serba kurang dan serba tidak berdaya sehingga ia membutuhkan Zat Yang Mahaagung, yang berhak untuk disembah dan dimintai pertolongan. Dialah Allah swt, dzat yang mencipatkan alam semesta, manusia dan kehidupan. Tidak ada yang lebih tinggi dan layak disembah melaikan hanya Dia.
Oleh karena itu esensi dari kembali kepada fitrah manusia berarti adalah kembalinya manusia ke jatidirinya yang asli sebagai seorang hamba di hadapan Allah sebagai Tuhannya. Menurut Imam Ja’far ash-Shadiq, seorang Muslim yang mengklaim sebagai hamba Allah mesti menyadari bahwa: (1) apa yang ada pada dirinya bukanlah miliknya, tetapi milik Allah; (2) tunduk, patuh dan tidak pernah membantah setiap perintah Allah; (3) tidak membuat aturan sendiri kecuali aturan yang telah Allah tetapkan untuk dirinya.
Dengan sifat fitrah tersebut, manusia tidak akan merasa memiliki sifat powerfull dibanding yang lain. Tidak akan membuat kerusakan dengan kekuatan yang dia miliki. Dan syariah Islam adalah sesuatu yang sesuai dengan fitrah manusia tersebut, baik dia muslim ataupun non muslim.
Karena Islam adalah agama yang sempurna, Islam diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat jibril as untuk mengatur hubungan manusia dengan penciptanya, dengan sesamanya (baik muslim maupun non muslim), dan dengan dirinya sendiri.
Dengan kembali kepada jati diri sebagai seorang muslim, yang tunduk dan patuh akan hukum-hukum Allah, maka sejatinya dia akan menjauhkan dir dari segala bentuk sekulerisme, kenapa? Karena Sebab, sekularisme justru menjauhkan diri manusia dari kedudukannya sebagai seorang hamba Allah. Bahkan sekularisme menempatkan manusia sejajar dengan Tuhan, sebagaimaan sekulerisme juga merupakan ibu dari demokrasi, dimana dalam demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat/penguasa. Padahal di dalam Islam, kedaulatan hanyalah ada pada Allah swt sebagai musyari’ (pembuat hukum), bukan manusia sebagaimana yang ada pada sistem demokrasi-sekuler.
Negara Tanpa Aturan Allah Adalah Negara Maksiat
Membuat hukum itu adalah hak Allah, bukan hak manusia.
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. 5 : 57)Sebuah negara, dimana negara tersebut tidak menerapkan aturan-aturan Allah maka sejatinya negara itu telah melakukan sebuah kemaksiatan. Karena segala bentuk pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah (tidak menerapkan hukum Allah) adalah sebuah kemaksiatan kepada Allah. Setiap kemaksiatan pasti menimbulkan dosa, dan setiap dosa pasti menyebabakan fasad atau kerusakan. Itulah kenapa sampai sekarang sejak 17 Agustus 1945 berbagai macam bentuk bencana dan musibah yang berupa fasad selalu menimpa negeri ini.
fakta telah membuktikan bahwa peratuan–peraturan yang dibuat manusia—karena lebih didasarkan pada kecenderungan dan hawa nafsunya—telah melahirkan banyak ekses negatif, kerusakan dan kekacauan. Itulah yang terjadi saat ini ketika hak membuat aturan/hukum diberikan kepada manusia (rakyat) melalui mekanisme demokrasi. Mahabenar Allah yang berfirman:
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?! (TQS al-Maidah [5]: 50).
Lebih jauh, syariat Islam tidak pernah secara sengaja digunakan. Islam hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Sebagai gantinya, di tengah-tengah sistem sekularistik itu lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama: tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik, serta sistem pendidikan yang materialistik.
Bulan Ramadhan 1432 H, bermuhasabah lah!
Sejak 17 Agustus 1945, berarti sudah 66 tahun negara ini merdeka. Namun setelah uraian diatas, apakah negara ini sudah layak dikatakan merdeka? Jelas tidak.
Sudah saatnya pemimpin negeri ini melakukan muhasabah. Cukup sudah kiranya setengah abad lebih negeri ini mengalami keterpurukan. Cukup sudah beberapa kali ganti rezim tanpa dibarengi ganti sistem dilakukan di negeri ini.
Bulan Ramadhan tahun ini yang bertepataan dengan bulan kemerdekaan bangsa ini, seharusnya menjadi muhasabah tersendiri. Khususnya kepada para penguasa negeri ini. Bukankah mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim. Apakah mereka lupa atau tidak tahu bagaimana ramadhan merupakansebuah bulan jihad untuk meraih kemenangan secara hakiki?
Lihat dan renungkanlah bagaimana dulu Rasululah saw dan para sahabat beraktivitas di bulan Ramadhan.
Pertama: para Sahabat tidak hanya melakukan tadarus al-Quran (baik di bulan Ramadhan maupun di luar itu), tetapi juga mengamalkannya. Sebab, para Sahabat memahami bahwa membaca al-Quran adalah sunnah, sementara menjadikan al-Quran sebagai pedoman hidup mereka adalah wajib. Mereka sangat menyadari bahwa al-Quran harus menjadi dasar konstitusi kaum Muslim.
Kedua: para Sahabat tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari segala hal yang diharamkan oleh Allah; tidak berdusta, tidak berbuat batil, tidak membuat kerusakan dan tentu saja tidak berhukum pada selain hukum Allah Swt. Mereka tidak seperti kaum Muslim saat ini, yang justru masih berhukum pada perundang-undangan dan sistem kufur yang bersumber dari sekularisme.
Ketiga: para Sahabat telah nyata-nyata menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan tobat. Tobat mereka adalah tawbah nasûhâ, tobat yang sebenar-benarnya. Seharusnya saat ini pun kaum Muslim, yang telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan tobat, tidak lagi melakukan maksiat meski Ramadhan telah berlalu. Maksiat terbesar yang harus segera ditinggalkan kaum Muslim saat ini adalah ketika mereka tidak menerapkan hukum-hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan akibat ketiadaan Daulah Khilafah Islam di tengah-tengah mereka. Ketiadaan Daulah Khilafah juga berarti umat ini tidak memiliki pelindung dari musuh-musuh Allah.
Semoga Bulan Ramadhan tahun ini adalah bulan Ramadhan terakhir bangsa Indonesia hidup tanpa syariah Islam, dan untuk seluruh manusia di muka bumi pada umumnya. Amin Allahuma amin. Wallahu A’lam bis showab
Senin, 27 Juni 2011
Problematika TKI & Phoby Islam
Kisah pilu harus kembali dialami tenaga kerja Indonesia yang mengadu nasib di negri orang. Seperti diberitakan, kasus terakhir dialami oleh Ruyati Binti Satubi, seorang TKW asal Bekasi Jawa Barat yang dikenai sanksi hukuman mati oleh pengadilan Arab Saudi setelah disahkan oleh Mahkamah Tamziz kerajaan negara tersebut.
Sebagaimana dikutip Antaranews (19/06), Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Moh Jumhur mengatakan bahwa Rumiyati terbukti bersalah dalam persidangan, Ruyati dengan gamblang mengakui membunuh sang majikan setelah bertengkar karena keinginannya untuk pulang tidak dikabulkan.
Sangat disayangkan memang peristiwa ini harus terjadi. Rasa prihatin, tentu! namun bagaimanapun nasi sudah menjadi bubur. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah mengambil pelajaran darinya. Pemerintah Indonesia juga mesti mengambil langkah serius untuk mengusut tuntas kasus ini dan kasus-kasus serupa.
Sebelum ini, beberapa kasus naas juga harus dialami oleh TKI, kejadian yang sempat membuat geger publik beberapa waktu silam ialah kasus yang menimpa seorang TKW bernama Sumiyati. Namun kali ini sedikit berbeda, sebab Sumiyati lah yang menjadi pesakitan.
Sebagaimana diberitakan, TKI asal Nusa Tenggara Barat ini disiksa oleh majikannya di Arab Saudi. Hampir semua bagian tubuh, wajah, dan kedua kakinya mengalami luka-luka. Ia mengalami luka bakar di beberapa titik, kedua kaki nyaris lumpuh, kulit tubuh dan kepala terkelupas, tulang jari tengah tangan retak, dan alis mata rusak. Bibirnya juga dipotong.
Ironisnya perlakuan berbeda diterapkan oleh pihak Arab Saudi atas dua kasus di atas tersebut. Jika Negara itu konsisten menerapkan hukum Qishash, maka sudah semestinya pihak majikan yang menyiksa Sumiyati juga harus dikenai Qishash berupa sanksi seperti apa yang telah dia lakukan kepada Sumiyati, kecuali keluarga korban memaafkan. Dan jika keluarga memaafkan, maka harus dikenai diyat atau denda.
Sulit memang untuk mendapatkan keadilan didalam tatanan kehidupan yang tidak diatur dengan sistem Islam secara kaffah. Setidaknya contoh kedua kasus diatas menjadi salah satu bukti yang otentik.
Phoby Islam
Seperti biasanya, kasus-kasus seperti ini akhirnya menjadi santapan lezat oknum-oknum yang phoby terhadap Islam dan syariah untuk menyerang Islam. Raport merah Arab Saudi kemudian menjadi bahan untuk menuding dan menghujat Syariah. Padahal Arab Saudi bukanlah representatif penerapan syariah Islam secara kaffah, bukan pula representatif negara khilafah. Sehingga jelas tudingan tersebut adalah salah alamat.
Sebab sebagaimana diterangkan oleh para ulama, yang disebut negara Islam/khilafah ialah apabila jika memenuhi dua syarat: Pertama: diterapkannya sistem hukum Islam. Kedua: Sistem keamanannya berada di tangan sistem keamanan Islam, yaitu berada di bawah kekuasaan mereka.
Jika Arab Saudi disebut sebagai negara Islam yang menerapkan syariah Islam secara kaffah, maka semestinya di berlakukan hukum Qishash pelaku penganiayaan & pembunuhan TKI, hentikan penggunaan sistm kapitalisme dalam penyelenggaraan ibadah haji, stop pnguasaan barang tambang oleh perusahaan asing, mesti dilaksanakan politik luar negri (dakwah internasional) daulah Islam, juga harus dirubah sistem sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan dengan khilafah, dsb.
Terlepas dari keabsahan pengadilan Arab Saudi, hukum Islam tentu sagat jauh lebih hebat dibanding hukum sekulerisme. Dalam kasus pembunuhan misalnya, Islam memberikan sanksi berupa Qishash dalam bentuk hukuman mati. Itu Artinya Islam sangat menghargai jiwa manusia. Pelaksanaan hukum ini sarat akan solusi preventif karena menimbulkan aspek jera yang tinggi, sehingga bisa meminimalisir kasus pembunuhan.Hal ini berbeda dengan peradilan sekulerisme yang seperti tidak menghargai jiwa manusia karena lembeknya sanksi yang diberikan sehingga membuat angka kasus pembunuhan terus meningkat. Buktinya, berdasarkan data yang diperoleh dari Biro Operasi Polda Metro Jaya, kasus pembunuhan pada 2010 mengalami peningkatan sebesar 5,06 persen dari tahun sebelumnya.
Islam juga memperhatikan masalah pembuktian (Al-Bayyinah). Dalam sistem peradilan Islam, seorang baru bisa dikenai sanksi hukum jika memang terbukti bersalah. Sistem peradilan Islam hanya menerima empat macam pembuktian, yakni pengakuan, sumpah, kesaksian dan dokumen tertulis yang menyakinkan. Pengakuan terdakwa tanpa paksaan dan penuh kesadaran (tidak gila). Kesaksian (syahadah) juga begitu ketat.
Faktor keberhasilan lain peradilan Islam yang telah dibuktikan selama berabad-abad dari masa Rasulullah hingga masa khilafah utsmaniyah (Turki) ialah dimana dalam pandangan syariat Islam, seseorang yang sudah dijatuhi hukuman di dunia akan menggugurkan dosa-dosanya (Al-Jawabir)sekaligus akan menghindarkan dirinya dari hukuman Allah di hari akhir.
Maka jelas, hukuman Qishash itu bukanlah dalam rangka balas dendam, melainkan untuk menyelamatkan nyawa-nyawa lain. Maha benar Allah atas firman-Nya: “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 179).
Problematika TKI
Perihal kasus Rumiyati (semoga Allah memberikan ampunan), jika dia terbukti bersalah maka siapapun itu selayaknya mendapatkan hukuman, jangan karena memiliki ikatan emosional lalu kemudian kita tidak adil dalam menyikapinya. Aneh juga jika kita harus “membenarkan” pembunuhan (jika benar-benar terbukti dan tak sesuai dengan syara’) atau dipihak lain menjadi pembela penindak kriminal (seperti kepada majikan Arab Saudi).
Peristiwa ini bisa menjadi cambukan bagi pemerintah dalam permasalahan TKI. Kenapa harus pemerintah? Karena pemerintahlah yang bertanggung jawab penuh atas persoalan TKI. Biasanya yang dilakukan sang pengampu kebijakan hanya bertindak responsif setelah adanya kejadian, dan tidak menyentuh pada akar persoalan. Setelah beriringnya waktu dan kasusnya pun reda, maka upaya penyelesaiannya pun ikut memudar.
Persoalan TKI memang begitu rumit, mulai dari permasalahan personal TKI hingga permasalahan sistem penyelenggaraannya. Ada beberapa faktor yang mengakibatkan ketidakberesan persoalan TKI. Diantaranya:
Pertama: Faktor Individu. Kwalitas SDM yang tidak disiapkan dengan baik merupakan salah satu faktor kekisruhan TKI selama ini. Padahal sebagai pihak yang dikenal sebagai pahlawan devisa, semestinya pemerintah lebih meningkatkan upaya perbaikan SDM TKI ini. Misalnya peningkatan BLK (Balai latihan kerja), dsb.
Menurut Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Sri Danti mengatakan sekitar 60 persen tenaga kerja wanita Indonesia tidak lulus sekolah dasar (republika.co.id 20/06). Hal ini tentu merupakan kendala besar, apalagi tanpa diikuti dengan skil yang memadai.
Kedua: Faktor sistem penyelenggaraan. Selama ini hasil kinerja BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) bisa dikatakan kurang maksimal, maka perlu adanya evaluasi dan perbaikan. Problematika TKI seringkali muncul sejak awal proses pengiriman tenaga kerja. Agen-agen legal maupun ilegal yang mengedepankan provit oriented tanpa mengindahkan standarisasi TKI hanyalah akan menimbulkan persoalan kedepannya bagi TKI itu sendiri. Seperti halnya terjadi pemalsuan-pemalsuan dokumen, ketidakberesan proses rekrutmen, dsb. Karena itu pemerintah harus lebih melakukan kontrol yang lebih ketat hal tersebut.
Tak bisa dipungkiri, banyaknya minat masyarakat yang memilih bekerja di luar negri adalah akibat semakin menyempitnya lapangan pekerjaan di Indonesia. Negri yang kaya akan potensi sumber daya alam ini ternyata belum bisa menjamin warganya untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Andai bisa memilih, tentu mereka akan lebih suka untuk dekat dengan keluarga yang dicintainya. Inilah PR besar yang harus segera dituntaskan oleh negara ini.
Jika sistem Sekuler-Kapitalisme telah nyata-nyata menjadikan Indonesia menjadi bangkrut, kenapa harus dipertahankan. Bukankah ada sistem Islam yang telah terbukti hebat dan memberikan kepuasan hati? Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Sebagaimana dikutip Antaranews (19/06), Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Moh Jumhur mengatakan bahwa Rumiyati terbukti bersalah dalam persidangan, Ruyati dengan gamblang mengakui membunuh sang majikan setelah bertengkar karena keinginannya untuk pulang tidak dikabulkan.
Sangat disayangkan memang peristiwa ini harus terjadi. Rasa prihatin, tentu! namun bagaimanapun nasi sudah menjadi bubur. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah mengambil pelajaran darinya. Pemerintah Indonesia juga mesti mengambil langkah serius untuk mengusut tuntas kasus ini dan kasus-kasus serupa.
Sebelum ini, beberapa kasus naas juga harus dialami oleh TKI, kejadian yang sempat membuat geger publik beberapa waktu silam ialah kasus yang menimpa seorang TKW bernama Sumiyati. Namun kali ini sedikit berbeda, sebab Sumiyati lah yang menjadi pesakitan.
Sebagaimana diberitakan, TKI asal Nusa Tenggara Barat ini disiksa oleh majikannya di Arab Saudi. Hampir semua bagian tubuh, wajah, dan kedua kakinya mengalami luka-luka. Ia mengalami luka bakar di beberapa titik, kedua kaki nyaris lumpuh, kulit tubuh dan kepala terkelupas, tulang jari tengah tangan retak, dan alis mata rusak. Bibirnya juga dipotong.
Ironisnya perlakuan berbeda diterapkan oleh pihak Arab Saudi atas dua kasus di atas tersebut. Jika Negara itu konsisten menerapkan hukum Qishash, maka sudah semestinya pihak majikan yang menyiksa Sumiyati juga harus dikenai Qishash berupa sanksi seperti apa yang telah dia lakukan kepada Sumiyati, kecuali keluarga korban memaafkan. Dan jika keluarga memaafkan, maka harus dikenai diyat atau denda.
Sulit memang untuk mendapatkan keadilan didalam tatanan kehidupan yang tidak diatur dengan sistem Islam secara kaffah. Setidaknya contoh kedua kasus diatas menjadi salah satu bukti yang otentik.
Phoby Islam
Seperti biasanya, kasus-kasus seperti ini akhirnya menjadi santapan lezat oknum-oknum yang phoby terhadap Islam dan syariah untuk menyerang Islam. Raport merah Arab Saudi kemudian menjadi bahan untuk menuding dan menghujat Syariah. Padahal Arab Saudi bukanlah representatif penerapan syariah Islam secara kaffah, bukan pula representatif negara khilafah. Sehingga jelas tudingan tersebut adalah salah alamat.
Sebab sebagaimana diterangkan oleh para ulama, yang disebut negara Islam/khilafah ialah apabila jika memenuhi dua syarat: Pertama: diterapkannya sistem hukum Islam. Kedua: Sistem keamanannya berada di tangan sistem keamanan Islam, yaitu berada di bawah kekuasaan mereka.
Jika Arab Saudi disebut sebagai negara Islam yang menerapkan syariah Islam secara kaffah, maka semestinya di berlakukan hukum Qishash pelaku penganiayaan & pembunuhan TKI, hentikan penggunaan sistm kapitalisme dalam penyelenggaraan ibadah haji, stop pnguasaan barang tambang oleh perusahaan asing, mesti dilaksanakan politik luar negri (dakwah internasional) daulah Islam, juga harus dirubah sistem sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan dengan khilafah, dsb.
Terlepas dari keabsahan pengadilan Arab Saudi, hukum Islam tentu sagat jauh lebih hebat dibanding hukum sekulerisme. Dalam kasus pembunuhan misalnya, Islam memberikan sanksi berupa Qishash dalam bentuk hukuman mati. Itu Artinya Islam sangat menghargai jiwa manusia. Pelaksanaan hukum ini sarat akan solusi preventif karena menimbulkan aspek jera yang tinggi, sehingga bisa meminimalisir kasus pembunuhan.Hal ini berbeda dengan peradilan sekulerisme yang seperti tidak menghargai jiwa manusia karena lembeknya sanksi yang diberikan sehingga membuat angka kasus pembunuhan terus meningkat. Buktinya, berdasarkan data yang diperoleh dari Biro Operasi Polda Metro Jaya, kasus pembunuhan pada 2010 mengalami peningkatan sebesar 5,06 persen dari tahun sebelumnya.
Islam juga memperhatikan masalah pembuktian (Al-Bayyinah). Dalam sistem peradilan Islam, seorang baru bisa dikenai sanksi hukum jika memang terbukti bersalah. Sistem peradilan Islam hanya menerima empat macam pembuktian, yakni pengakuan, sumpah, kesaksian dan dokumen tertulis yang menyakinkan. Pengakuan terdakwa tanpa paksaan dan penuh kesadaran (tidak gila). Kesaksian (syahadah) juga begitu ketat.
Faktor keberhasilan lain peradilan Islam yang telah dibuktikan selama berabad-abad dari masa Rasulullah hingga masa khilafah utsmaniyah (Turki) ialah dimana dalam pandangan syariat Islam, seseorang yang sudah dijatuhi hukuman di dunia akan menggugurkan dosa-dosanya (Al-Jawabir)sekaligus akan menghindarkan dirinya dari hukuman Allah di hari akhir.
Maka jelas, hukuman Qishash itu bukanlah dalam rangka balas dendam, melainkan untuk menyelamatkan nyawa-nyawa lain. Maha benar Allah atas firman-Nya: “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 179).
Problematika TKI
Perihal kasus Rumiyati (semoga Allah memberikan ampunan), jika dia terbukti bersalah maka siapapun itu selayaknya mendapatkan hukuman, jangan karena memiliki ikatan emosional lalu kemudian kita tidak adil dalam menyikapinya. Aneh juga jika kita harus “membenarkan” pembunuhan (jika benar-benar terbukti dan tak sesuai dengan syara’) atau dipihak lain menjadi pembela penindak kriminal (seperti kepada majikan Arab Saudi).
Peristiwa ini bisa menjadi cambukan bagi pemerintah dalam permasalahan TKI. Kenapa harus pemerintah? Karena pemerintahlah yang bertanggung jawab penuh atas persoalan TKI. Biasanya yang dilakukan sang pengampu kebijakan hanya bertindak responsif setelah adanya kejadian, dan tidak menyentuh pada akar persoalan. Setelah beriringnya waktu dan kasusnya pun reda, maka upaya penyelesaiannya pun ikut memudar.
Persoalan TKI memang begitu rumit, mulai dari permasalahan personal TKI hingga permasalahan sistem penyelenggaraannya. Ada beberapa faktor yang mengakibatkan ketidakberesan persoalan TKI. Diantaranya:
Pertama: Faktor Individu. Kwalitas SDM yang tidak disiapkan dengan baik merupakan salah satu faktor kekisruhan TKI selama ini. Padahal sebagai pihak yang dikenal sebagai pahlawan devisa, semestinya pemerintah lebih meningkatkan upaya perbaikan SDM TKI ini. Misalnya peningkatan BLK (Balai latihan kerja), dsb.
Menurut Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Sri Danti mengatakan sekitar 60 persen tenaga kerja wanita Indonesia tidak lulus sekolah dasar (republika.co.id 20/06). Hal ini tentu merupakan kendala besar, apalagi tanpa diikuti dengan skil yang memadai.
Kedua: Faktor sistem penyelenggaraan. Selama ini hasil kinerja BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) bisa dikatakan kurang maksimal, maka perlu adanya evaluasi dan perbaikan. Problematika TKI seringkali muncul sejak awal proses pengiriman tenaga kerja. Agen-agen legal maupun ilegal yang mengedepankan provit oriented tanpa mengindahkan standarisasi TKI hanyalah akan menimbulkan persoalan kedepannya bagi TKI itu sendiri. Seperti halnya terjadi pemalsuan-pemalsuan dokumen, ketidakberesan proses rekrutmen, dsb. Karena itu pemerintah harus lebih melakukan kontrol yang lebih ketat hal tersebut.
Tak bisa dipungkiri, banyaknya minat masyarakat yang memilih bekerja di luar negri adalah akibat semakin menyempitnya lapangan pekerjaan di Indonesia. Negri yang kaya akan potensi sumber daya alam ini ternyata belum bisa menjamin warganya untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Andai bisa memilih, tentu mereka akan lebih suka untuk dekat dengan keluarga yang dicintainya. Inilah PR besar yang harus segera dituntaskan oleh negara ini.
Jika sistem Sekuler-Kapitalisme telah nyata-nyata menjadikan Indonesia menjadi bangkrut, kenapa harus dipertahankan. Bukankah ada sistem Islam yang telah terbukti hebat dan memberikan kepuasan hati? Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Langganan:
Komentar (Atom)