Senin, 27 Juni 2011

Problematika TKI & Phoby Islam

Kisah pilu harus kembali dialami tenaga kerja Indonesia yang mengadu nasib di negri orang. Seperti diberitakan, kasus terakhir dialami oleh Ruyati Binti Satubi, seorang TKW asal Bekasi Jawa Barat yang dikenai sanksi hukuman mati oleh pengadilan Arab Saudi setelah disahkan oleh Mahkamah Tamziz kerajaan negara tersebut.
Sebagaimana dikutip Antaranews (19/06), Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Moh Jumhur mengatakan bahwa Rumiyati terbukti bersalah dalam persidangan, Ruyati dengan gamblang mengakui membunuh sang majikan setelah bertengkar karena keinginannya untuk pulang tidak dikabulkan.
Sangat disayangkan memang peristiwa ini harus terjadi. Rasa prihatin, tentu! namun bagaimanapun nasi sudah menjadi bubur. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah mengambil pelajaran darinya. Pemerintah Indonesia juga mesti mengambil langkah serius untuk mengusut tuntas kasus ini dan kasus-kasus serupa.
Sebelum ini, beberapa kasus naas juga harus dialami oleh TKI, kejadian yang sempat membuat geger publik beberapa waktu silam ialah kasus yang menimpa seorang TKW bernama Sumiyati. Namun kali ini sedikit berbeda, sebab Sumiyati lah yang menjadi pesakitan.
Sebagaimana diberitakan, TKI asal Nusa Tenggara Barat ini disiksa oleh majikannya di Arab Saudi. Hampir semua bagian tubuh, wajah, dan kedua kakinya mengalami luka-luka. Ia mengalami luka bakar di beberapa titik, kedua kaki nyaris lumpuh, kulit tubuh dan kepala terkelupas, tulang jari tengah tangan retak, dan alis mata rusak. Bibirnya juga dipotong.
Ironisnya perlakuan berbeda diterapkan oleh pihak Arab Saudi atas dua kasus di atas tersebut. Jika Negara itu konsisten menerapkan hukum Qishash, maka sudah semestinya pihak majikan yang menyiksa Sumiyati juga harus dikenai Qishash berupa sanksi seperti apa yang telah dia lakukan kepada Sumiyati, kecuali keluarga korban memaafkan. Dan jika keluarga memaafkan, maka harus dikenai diyat atau denda.
Sulit memang untuk mendapatkan keadilan didalam tatanan kehidupan yang tidak diatur dengan sistem Islam secara kaffah. Setidaknya contoh kedua kasus diatas menjadi salah satu bukti yang otentik.
Phoby Islam
Seperti biasanya, kasus-kasus seperti ini akhirnya menjadi santapan lezat oknum-oknum yang phoby terhadap Islam dan syariah untuk menyerang Islam. Raport merah Arab Saudi kemudian menjadi bahan untuk menuding dan menghujat Syariah. Padahal Arab Saudi bukanlah representatif penerapan syariah Islam secara kaffah, bukan pula representatif negara khilafah. Sehingga jelas tudingan tersebut adalah salah alamat.
Sebab sebagaimana diterangkan oleh para ulama, yang disebut negara Islam/khilafah ialah apabila jika memenuhi dua syarat: Pertama: diterapkannya sistem hukum Islam. Kedua: Sistem keamanannya berada di tangan sistem keamanan Islam, yaitu berada di bawah kekuasaan mereka.
Jika Arab Saudi disebut sebagai negara Islam yang menerapkan syariah Islam secara kaffah, maka semestinya di berlakukan hukum Qishash pelaku penganiayaan & pembunuhan TKI, hentikan penggunaan sistm kapitalisme dalam penyelenggaraan ibadah haji, stop pnguasaan barang tambang oleh perusahaan asing, mesti dilaksanakan politik luar negri (dakwah internasional) daulah Islam, juga harus dirubah sistem sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan dengan khilafah, dsb.
Terlepas dari keabsahan pengadilan Arab Saudi, hukum Islam tentu sagat jauh lebih hebat dibanding hukum sekulerisme. Dalam kasus pembunuhan misalnya, Islam memberikan sanksi berupa Qishash dalam bentuk hukuman mati. Itu Artinya Islam sangat menghargai jiwa manusia. Pelaksanaan hukum ini sarat akan solusi preventif karena menimbulkan aspek jera yang tinggi, sehingga bisa meminimalisir kasus pembunuhan.Hal ini berbeda dengan peradilan sekulerisme yang seperti tidak menghargai jiwa manusia karena lembeknya sanksi yang diberikan sehingga membuat angka kasus pembunuhan terus meningkat. Buktinya, berdasarkan data yang diperoleh dari Biro Operasi Polda Metro Jaya, kasus pembunuhan pada 2010 mengalami peningkatan sebesar 5,06 persen dari tahun sebelumnya.
Islam juga memperhatikan masalah pembuktian (Al-Bayyinah). Dalam sistem peradilan Islam, seorang baru bisa dikenai sanksi hukum jika memang terbukti bersalah. Sistem peradilan Islam hanya menerima empat macam pembuktian, yakni pengakuan, sumpah, kesaksian dan dokumen tertulis yang menyakinkan. Pengakuan terdakwa tanpa paksaan dan penuh kesadaran (tidak gila). Kesaksian (syahadah) juga begitu ketat.
Faktor keberhasilan lain peradilan Islam yang telah dibuktikan selama berabad-abad dari masa Rasulullah hingga masa khilafah utsmaniyah (Turki) ialah dimana dalam pandangan syariat Islam, seseorang yang sudah dijatuhi hukuman di dunia akan menggugurkan dosa-dosanya (Al-Jawabir)sekaligus akan menghindarkan dirinya dari hukuman Allah di hari akhir.
Maka jelas, hukuman Qishash itu bukanlah dalam rangka balas dendam, melainkan untuk menyelamatkan nyawa-nyawa lain. Maha benar Allah atas firman-Nya: “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 179).
Problematika TKI
Perihal kasus Rumiyati (semoga Allah memberikan ampunan), jika dia terbukti bersalah maka siapapun itu selayaknya mendapatkan hukuman, jangan karena memiliki ikatan emosional lalu kemudian kita tidak adil dalam menyikapinya. Aneh juga jika kita harus “membenarkan” pembunuhan (jika benar-benar terbukti dan tak sesuai dengan syara’) atau dipihak lain menjadi pembela penindak kriminal (seperti kepada majikan Arab Saudi).
Peristiwa ini bisa menjadi cambukan bagi pemerintah dalam permasalahan TKI. Kenapa harus pemerintah? Karena pemerintahlah yang bertanggung jawab penuh atas persoalan TKI. Biasanya yang dilakukan sang pengampu kebijakan hanya bertindak responsif setelah adanya kejadian, dan tidak menyentuh pada akar persoalan. Setelah beriringnya waktu dan kasusnya pun reda, maka upaya penyelesaiannya pun ikut memudar.
Persoalan TKI memang begitu rumit, mulai dari permasalahan personal TKI hingga permasalahan sistem penyelenggaraannya. Ada beberapa faktor yang mengakibatkan ketidakberesan persoalan TKI. Diantaranya:
Pertama: Faktor Individu. Kwalitas SDM yang tidak disiapkan dengan baik merupakan salah satu faktor kekisruhan TKI selama ini. Padahal sebagai pihak yang dikenal sebagai pahlawan devisa, semestinya pemerintah lebih meningkatkan upaya perbaikan SDM TKI ini. Misalnya peningkatan BLK (Balai latihan kerja), dsb.
Menurut Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Sri Danti mengatakan sekitar 60 persen tenaga kerja wanita Indonesia tidak lulus sekolah dasar (republika.co.id 20/06). Hal ini tentu merupakan kendala besar, apalagi tanpa diikuti dengan skil yang memadai.
Kedua: Faktor sistem penyelenggaraan. Selama ini hasil kinerja BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) bisa dikatakan kurang maksimal, maka perlu adanya evaluasi dan perbaikan. Problematika TKI seringkali muncul sejak awal proses pengiriman tenaga kerja. Agen-agen legal maupun ilegal yang mengedepankan provit oriented tanpa mengindahkan standarisasi TKI hanyalah akan menimbulkan persoalan kedepannya bagi TKI itu sendiri. Seperti halnya terjadi pemalsuan-pemalsuan dokumen, ketidakberesan proses rekrutmen, dsb. Karena itu pemerintah harus lebih melakukan kontrol yang lebih ketat hal tersebut.
Tak bisa dipungkiri, banyaknya minat masyarakat yang memilih bekerja di luar negri adalah akibat semakin menyempitnya lapangan pekerjaan di Indonesia. Negri yang kaya akan potensi sumber daya alam ini ternyata belum bisa menjamin warganya untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Andai bisa memilih, tentu mereka akan lebih suka untuk dekat dengan keluarga yang dicintainya. Inilah PR besar yang harus segera dituntaskan oleh negara ini.
Jika sistem Sekuler-Kapitalisme telah nyata-nyata menjadikan Indonesia menjadi bangkrut, kenapa harus dipertahankan. Bukankah ada sistem Islam yang telah terbukti hebat dan memberikan kepuasan hati? Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Jumat, 24 Juni 2011

kemiskinan itu ujian Allah.

Punya pendidikan tinggi merupakan impian tiap orang. Tapi, bagaimana jika kemiskinan terus menghadang. Jangankan untuk biaya kuliah, buat makan saja susah.
Berikut ini penelusuran dan wawancara Eramuslim dengan seorang pemulung yang kini bisa terus kuliah di jurusan akuntansi di Pamulang, Tangerang. Mahasiswi berjilbab itu bernama Ming Ming Sari Nuryanti.
Sudah berapa lama Ming Ming jadi pemulung?
Sejak tahun 2004. Waktu itu mau masuk SMU. Karena penghasilan ayah semakin tidak menentu, kami sekeluarga menjadi pemulung.
Sekeluarga?
Iya. Setiap hari, saya, ayah, ibu, dan lima adik saya berjalan selama 3 sampai 4 jam mencari gelas mineral, botol mineral bekas, dan kardus. Kecuali adik yang baru kelas 2 SD yang tidak ikut.
***
Tempat tinggal Ming Ming berada di perbatasan antara Bogor dan Tangerang. Tepatnya di daerah Rumpin. Dari Serpong kurang lebih berjarak 40 kilometer. Kawasan itu terkenal dengan tempat penggalian pasir, batu kali, dan bahan bangunan lain. Tidak heran jika sepanjang jalan itu kerap dipadati truk dan suasana jalan yang penuh debu. Di sepanjang jalan itulah keluarga pemulung ini memunguti gelas dan botol mineral bekas dengan menggunakan karung.
Tiap hari, mereka berangkat sekitar jam 2 siang. Pilihan jam itu diambil karena Ming Ming dan adik-adik sudah pulang dari sekolah. Selain itu, bertepatan dengan jam berangkat sang ayah menuju tempat kerja di kawasan Ancol.
Setelah berjalan selama satu setengah sampai dua jam, sang ayah pun naik angkot menuju tempat kerja. Kemudian, ibu dan enam anak itu pun kembali menuju rumah. Sepanjang jalan pergi pulang itulah, mereka memunguti gelas dan botol mineral bekas.
Berapa banyak hasil yang bisa dipungut?
Nggak tentu. Kadang-kadang dapat 3 kilo. Kadang-kadang, nggak nyampe sekilo. Kalau cuaca hujan bisa lebih parah. Tapi, rata-rata per hari sekitar 2 kiloan.
Kalau dirupiahkan?
Sekilo harganya 5 ribu. Jadi, per hari kami dapat sekitar 10 ribu rupiah.
Apa segitu cukup buat 9 orang per hari?
Ya dicukup-cukupin. Alhamdulillah, kan ada tambahan dari penghasilan ayah. Walau tidak menentu, tapi lumayan buat keperluan hidup.
***
Ming Ming menjelaskan bahwa uang yang mereka dapatkan per hari diprioritaskan buat makan adik-adik dan biaya sekolah mereka. Sementara Ming Ming sendiri sudah terbiasa hanya makan sekali sehari. Terutama di malam hari.
Selain itu, mereka tidak dibingungkan dengan persoalan kontrak rumah. Karena selama ini mereka tinggal di lahan yang pemiliknya masih teman ayah Ming Ming. Di tempat itulah, mereka mendirikan gubuk sederhana yang terbuat dari barang-barang bekas yang ada di sekitar.
Berapa hari sekali, pengepul datang ke rumah Ming Ming untuk menimbang dan membayar hasil pungutan mereka.
Kalau lagi beruntung, mereka bisa dapat gelas dan botol air mineral bekas di tempat pesta pernikahan atau sunatan. Sayangnya, mereka harus menunggu acara selesai. Menunggu acara pesta itu biasanya antara jam 9 malam sampai jam 2 pagi. Selama 5 jam itu, Ming Ming sebagai anak sulung, ibu dan dua adiknya berkantuk-kantuk di tengah keramaian dan hiruk pikuk pesta.
Kalau di hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, keluarga pemulung ini juga punya kebiasaan yang berbeda dengan keluarga lain. Mereka tidak berkeliling kampung, berwisata, dan silaturahim ke handai taulan. Mereka justru memperpanjang rute memulung, karena biasanya di hari raya itu, barang-barang yang mereka cari tersedia lebih banyak dari hari-hari biasa.
Ming Ming tidak malu jadi pemulung?
Awalnya berat sekali. Apalagi jalan yang kami lalui biasa dilalui teman-teman sekolah saya di SMU N 1 Rumpin. Tapi, karena tekad untuk bisa membiayai sekolah dan cinta saya dengan adik-adik, saya jadi biasa. Nggak malu lagi.
Dari mana Ming Ming belajar Islam?
Sejak di SMU. Waktu itu, saya ikut rohis. Di rohis itulah, saya belajar Islam lewat mentoring seminggu sekali yang diadakan sekolah.
Ketika masuk kuliah, saya ikut rohis. Alhamdulillah, di situlah saya bisa terus belajar Islam.
Orang tua tidak masalah kalau Ming Ming memakai busana muslimah?
Alhamdulillah, nggak. Mereka welcome saja. Bahkan sekarang, lima adik perempuan saya juga sudah pakai jilbab.
***
Walau sudah mengenakan busana muslimah dengan jilbab yang lumayan panjang, Ming Ming dan adik-adik tidak merasa risih untuk tetap menjadi pemulung. Mereka biasa membawa karung, memunguti gelas dan botol air mineral bekas, juga kardus. Bahkan, Ming Ming pun sudah terbiasa menumpang truk. Walaupun, ia harus naik di belakang.
Ming Ming kuliah di mana?
Di Universitas Pamulang, Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi S1.
Maaf, apa cukup pendapatan Ming Ming untuk biaya kuliah?
Jelas nggak. Tapi, buat saya, kemiskinan itu ujian dari Allah supaya kita bisa sabar dan istiqamah. Dengan tekad itu, saya yakin bisa terus kuliah.
Walaupun, di semester pertama, saya nyaris keluar. Karena nggak punya uang buat biaya satu semester yang jumlahnya satu juta lebih. Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah semuanya bisa terbayar.
***
Di awal-awal kuliah, muslimah kelahiran tahun 90 ini memang benar-benar melakukan hal yang bisa dianggap impossible. Tanpa uang memadai, ia bertekad kuat bisa masuk kuliah.
Ketika berangkat kuliah, sang ibu hanya memberikan ongkos ke Ming Ming secukupnya. Artinya, cuma ala kadarnya. Setelah dihitung-hitung, ongkos hanya cukup untuk pergi saja. Itu pun ada satu angkot yang tidak masuk hitungan alias harus jalan kaki. Sementara pulang, ia harus memutar otak supaya bisa sampai ke rumah. Dan itu ia lakukan setiap hari.
Sebagai gambaran, jarak antara kampus dan rumah harus ditempuh Ming Ming dengan naik empat kali angkot. Setiap angkot rata-rata menarik tarif untuk jarak yang ditempuh Ming Ming sekitar 3 ribu rupiah. Kecuali satu angkot di antara empat angkot itu yang menarik tarif 5 ribu rupiah. Karena jarak tempuhnya memang maksimal. Jadi, yang mesti disiapkan Ming Ming untuk sekali naik sekitar 14 ribu rupiah.
Di antara trik Ming Ming adalah ia pulang dari kuliah dengan berjalan kaki sejauh yang ia kuat. Sambil berjalan pulang itulah, Ming Ming mengeluarkan karung yang sudah ia siapkan. Sepanjang jalan dari Pamulang menuju Serpong, ia melepas status kemahasiswaannya dan kembali menjadi pemulung.
Jadi, jangankan kebayang untuk jajan, makan siang, dan nongkrong seperti mahasiswa kebanyakan; bisa sampai ke rumah saja bingungnya bukan main.
Sekarang apa Ming Ming masih pulang pergi dari kampus ke rumah dan menjadi pemulung sepulang kuliah?
Saat ini, alhamdulillah, saya dan teman-teman UKM Muslim (Unit Kegiatan Mahasiswa Muslim) sudah membuat unit bisnis. Di antaranya, toko muslim. Dan saya dipercayakan teman-teman sebagai penjaga toko.
Seminggu sekali saya baru pulang. Kalau dihitung-hitung, penghasilannya hampir sama.
Jadi Ming Ming tidak jadi pemulung lagi?
Tetap jadi pemulung. Kalau saya pulang ke rumah, saya tetap memanfaatkan perjalanan pulang dengan mencari barang bekas. Bahkan, saya ingin sekali mengembangkan bisnis pemulung keluarga menjadi tingkatan yang lebih tinggi. Yaitu, menjadi bisnis daur ulang. Dan ini memang butuh modal lumayan besar.
Cita-cita Ming Ming?
Saya ingin menjadi da'i di jalan Allah. Dalam artian, dakwah yang lebih luas. Bukan hanya ngisi ceramah, tapi ingin mengembangkan potensi yang saya punya untuk berjuang di jalan Allah. (MN)