Selasa, 02 Agustus 2011

Bulan Ramadhan, Bulan Muhasabah dan Kemerdekaan Hakiki

oleh : semmercy
Alhamdulillah, bulan Ramadhan 1432 H sebentar lagi akan kita masuki, insya Allah akan bersamaan dengan awal bulan Agustus 2011 dimana bulan agustus ini pula terdapat tanggal yang setiap tahun selalu dirayakan oleh negara ini yakni setiap tanggal 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Pertanyaannya, benarkah negeri ini sudah merdeka? Ataukah masih terjajah?
Secara hitam diatas putih, sejak 17 Agustus 1945 memang telah diproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia oleh Dwi Tunggal Soekarno-Hatta. Sejak saat itu bangsa Indonesia bebas untuk menentukan nasibnya sendiri, tidak lagi di bawah penjajahan asing.
Namun faktanya, negara ini secara realitas kehidupan tidaklah merdeka. Negara ini berada di bawah penjajahan non fisik, yakni penjajahan secara pemikiran. Dan pemikiran dari penjajahan tersebut yang kemudian melahirkan berbagai macam bentuk kebijakan yang menghasilkan penderitaan secara fisik maupun mental hingga sekarang ini.
Secara ekonomi, konsep pemikiran sistem ekonomi kapitalisme yang diajarkan oleh barat telah merasuki para penguasa di negeri ini. Utang luar negeri semakin menumpuk sampai sekarang, dan menjadi tanggungan hingga beberapa generasi kedepan.
Secara politik, konsep pemikiran politik demokrasi-sekuler buah dari sistem kapitalisme pun juga semakin kokoh di negera ini.
Secara hukum, negara ini pun masih mengadopsi konsep pemikiran hukum sisa kolonial Belanda. Bukan kah Belanda adalah yang menjajah negara ini? Jika telah merdeka, kenapa tidak bisa lepas dari praktek hukum negara kolonial belanda?
Secara budaya, negara ini pun juga mengadopsi kebudayaan barat. Free seks adalah hal yang lumrah dikalangan pemuda. Bahkan ada orang tua yang malu jika anaknya tidak punya pacar. Padahal pacaran bukanlah kebudayaan Islam, melainkan kebudayaan dari hadharah barat.
Secara sosial, masyarakat mengalami keterpurukan di berbagai sektor. Pembunuhan, penganiyaan, dan kriminalitas menjadi menu harian rakyat Indonesia. Bukan hanya tidak aman dari sesama, rakyat juga tidak aman dari penguasa mereka. Hubungan rakyat dan penguasa bagaikan hubungan antarmusuh. Tanah rakyat digusur atas nama pembangunan. Pedagang kaki lima digusur di sana-sini dengan alasan penertiban. Pengusaha tidak aman dengan banyaknya kutipan liar dan kewajiban suap di sana-sini. Para aktifis Islam juga tidak aman menyerukan kebenaran Islam; mereka bisa diculik kapan saja dan dituduh sebagai teroris. Bahkan umat Islam yang baru di duga sebagai teroris pun langsung di ”dor” oleh densus 88 yang mana merupakan didikan dari negara kafir barat Australia.
Jadi pertanyaannya, dengan realitas di atas, apakah layak negara ini sudah merdeka? Jawabannya jelas tidak. Negara ini belumlah benar-benar lepas dari cengkraman penjajahan. Negara ini mengalami kerterpurukan di semua bidang.
Kemerdekaan Hakiki Dengan Syari’ah Islam
Kemerdekaan hakiki adalah kemerdekaan yang membebaskan semua bangsa dan individu dari segala bentuk penjajahan, plus dari segala bentuk penghambaan kepada sesuatu yang memang tidak layak untuk di sembah. Dan itu hanya bisa diraih dengan cara kembali kepada sifat fitrah manusia, yakni merasa lemah, terbatas dan kurang.
Secara bahasa, fithrah berarti al-khilqah (naluri, pembawaan) dan ath-thabî‘ah (tabiat, karakter) yang diciptakan Allah Swt. pada manusia. (Jamaluddin al-Jauzi, Zâd al-Masîr, VI/151; az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, III/463).
Di antara naluri/pembawaan manusia yang asli adalah adanya naluri beragama (gharîzah at-tadayyun) pada dirinya. Dengan naluri ini, setiap manusia pasti merasakan dirinya serba lemah, serba kurang dan serba tidak berdaya sehingga ia membutuhkan Zat Yang Mahaagung, yang berhak untuk disembah dan dimintai pertolongan. Dialah Allah swt, dzat yang mencipatkan alam semesta, manusia dan kehidupan. Tidak ada yang lebih tinggi dan layak disembah melaikan hanya Dia.
Oleh karena itu esensi dari kembali kepada fitrah manusia berarti adalah kembalinya manusia ke jatidirinya yang asli sebagai seorang hamba di hadapan Allah sebagai Tuhannya. Menurut Imam Ja’far ash-Shadiq, seorang Muslim yang mengklaim sebagai hamba Allah mesti menyadari bahwa: (1) apa yang ada pada dirinya bukanlah miliknya, tetapi milik Allah; (2) tunduk, patuh dan tidak pernah membantah setiap perintah Allah; (3) tidak membuat aturan sendiri kecuali aturan yang telah Allah tetapkan untuk dirinya.
Dengan sifat fitrah tersebut, manusia tidak akan merasa memiliki sifat powerfull dibanding yang lain. Tidak akan membuat kerusakan dengan kekuatan yang dia miliki. Dan syariah Islam adalah sesuatu yang sesuai dengan fitrah manusia tersebut, baik dia muslim ataupun non muslim.
Karena Islam adalah agama yang sempurna, Islam diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat jibril as untuk mengatur hubungan manusia dengan penciptanya, dengan sesamanya (baik muslim maupun non muslim), dan dengan dirinya sendiri.
Dengan kembali kepada jati diri sebagai seorang muslim, yang tunduk dan patuh akan hukum-hukum Allah, maka sejatinya dia akan menjauhkan dir dari segala bentuk sekulerisme, kenapa? Karena Sebab, sekularisme justru menjauhkan diri manusia dari kedudukannya sebagai seorang hamba Allah. Bahkan sekularisme menempatkan manusia sejajar dengan Tuhan, sebagaimaan sekulerisme juga merupakan ibu dari demokrasi, dimana dalam demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat/penguasa. Padahal di dalam Islam, kedaulatan hanyalah ada pada Allah swt sebagai musyari’ (pembuat hukum), bukan manusia sebagaimana yang ada pada sistem demokrasi-sekuler.
Negara Tanpa Aturan Allah Adalah Negara Maksiat
Membuat hukum itu adalah hak Allah, bukan hak manusia.
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. 5 : 57)
Sebuah negara, dimana negara tersebut tidak menerapkan aturan-aturan Allah maka sejatinya negara itu telah melakukan sebuah kemaksiatan. Karena segala bentuk pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah (tidak menerapkan hukum Allah) adalah sebuah kemaksiatan kepada Allah. Setiap kemaksiatan pasti menimbulkan dosa, dan setiap dosa pasti menyebabakan fasad atau kerusakan. Itulah kenapa sampai sekarang sejak 17 Agustus 1945 berbagai macam bentuk bencana dan musibah yang berupa fasad selalu menimpa negeri ini.
fakta telah membuktikan bahwa peratuan–peraturan yang dibuat manusia—karena lebih didasarkan pada kecenderungan dan hawa nafsunya—telah melahirkan banyak ekses negatif, kerusakan dan kekacauan. Itulah yang terjadi saat ini ketika hak membuat aturan/hukum diberikan kepada manusia (rakyat) melalui mekanisme demokrasi. Mahabenar Allah yang berfirman:
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?! (TQS al-Maidah [5]: 50).
Lebih jauh, syariat Islam tidak pernah secara sengaja digunakan. Islam hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Sebagai gantinya, di tengah-tengah sistem sekularistik itu lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama: tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik, serta sistem pendidikan yang materialistik.
Bulan Ramadhan 1432 H, bermuhasabah lah!
Sejak 17 Agustus 1945, berarti sudah 66 tahun negara ini merdeka. Namun setelah uraian diatas, apakah negara ini sudah layak dikatakan merdeka? Jelas tidak.
Sudah saatnya pemimpin negeri ini melakukan muhasabah. Cukup sudah kiranya setengah abad lebih negeri ini mengalami keterpurukan. Cukup sudah beberapa kali ganti rezim tanpa dibarengi ganti sistem dilakukan di negeri ini.
Bulan Ramadhan tahun ini yang bertepataan dengan bulan kemerdekaan bangsa ini, seharusnya menjadi muhasabah tersendiri. Khususnya kepada para penguasa negeri ini. Bukankah mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim. Apakah mereka lupa atau tidak tahu bagaimana ramadhan merupakansebuah bulan jihad untuk meraih kemenangan secara hakiki?
Lihat dan renungkanlah bagaimana dulu Rasululah saw dan para sahabat beraktivitas di bulan Ramadhan.
Pertama: para Sahabat tidak hanya melakukan tadarus al-Quran (baik di bulan Ramadhan maupun di luar itu), tetapi juga mengamalkannya. Sebab, para Sahabat memahami bahwa membaca al-Quran adalah sunnah, sementara menjadikan al-Quran sebagai pedoman hidup mereka adalah wajib. Mereka sangat menyadari bahwa al-Quran harus menjadi dasar konstitusi kaum Muslim.
Kedua: para Sahabat tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari segala hal yang diharamkan oleh Allah; tidak berdusta, tidak berbuat batil, tidak membuat kerusakan dan tentu saja tidak berhukum pada selain hukum Allah Swt. Mereka tidak seperti kaum Muslim saat ini, yang justru masih berhukum pada perundang-undangan dan sistem kufur yang bersumber dari sekularisme.
Ketiga: para Sahabat telah nyata-nyata menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan tobat. Tobat mereka adalah tawbah nasûhâ, tobat yang sebenar-benarnya. Seharusnya saat ini pun kaum Muslim, yang telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan tobat, tidak lagi melakukan maksiat meski Ramadhan telah berlalu. Maksiat terbesar yang harus segera ditinggalkan kaum Muslim saat ini adalah ketika mereka tidak menerapkan hukum-hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan akibat ketiadaan Daulah Khilafah Islam di tengah-tengah mereka. Ketiadaan Daulah Khilafah juga berarti umat ini tidak memiliki pelindung dari musuh-musuh Allah.
Semoga Bulan Ramadhan tahun ini adalah bulan Ramadhan terakhir bangsa Indonesia hidup tanpa syariah Islam, dan untuk seluruh manusia di muka bumi pada umumnya. Amin Allahuma amin. Wallahu A’lam bis showab 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar